Pacitan Jaman Ki Ageng Buwana Keling

Sejarah Pacitan umumnya ditulis berawal dari kedatangan Ki Buwana Keling, salah satu utusan Raja Brawijaya ke daerah di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah pada abad ke XII M. Asal usul Ki Ageng Buwana Keling menurut silsilahnya adalah putra Pejajaran yang di kawinkan dengan salah satu putri Brawijaya V yang bernama putri Togati. setelah menjadi menantu Majapahit maka Ki Ageng Buwana Keling mendapat hadiah tanah di pesisir selatan dan diharuskan tunduk di bawah kekuasaan Majapahit. Pusat pemerintahan Negeri Buwana Keling terletak di ± 7 km dari ibukota Pacitan sekarang (Jati Kec. Kebonagung) yang disebut daerah wengker kidul atau daerah pesisir selatan. Ki Ageng Buwana Keling berputra tunggal bernama Raden Purbengkoro yang setelah tua bernama Ki Ageng Bana Keling.

Keberadaan Ki Ageng Buwana Keling ini dikuatkan dengan prasasti jawa kuno yang diduga dibuat pada abad XV yang menyebutkan bahwa Ki Ageng Buwono Keling merupakan penguasa di daerah wengker kidul.

PRASASTI JAWA KUNO

 

JA PURA PURAKSARA ERESTHA

 

BHUWANA KELING ABHIYANA

 

JUWANA SIDDHIM SAMAGANAYA

 

BHIJNA TABHA MINIGVAZAH

 

RATNA KARA PRAMANANTU

 

Artinya : dahulu ada seorang pendekar ternama bernama buwono keling yang telah mencapai kesempurnaan, dalam ilmu kebathinan dan kekebalan. Seorang guru diantara orang bijaksana dan beliau inilah yang menjadi perintis dan pemakrarsa daerah sekitarnya.

Ki Ageng Buwono Keling adalah saudara seperguruan Ki Tunggul Wulung, salah seorang kepercayaan Prabu Brawijaya V. Menjelang kemunduran Kerajaan Majapahit di masa pemerintahan Prabu Brawijaya V yang menikah dengan puteri dari China, Prabu Brawijaya V menyiapkan seseorang untuk berjaga-jaga bila huru-hara terjadi. Seseorang yang dipersiapkan tersebut ialah Ki Tunggul Wulung. Brawijaya V menyuruh Ki Tunggul Wulung untuk bersemedi di Gunung Lawu. Dalam kepercayaan pada masa itu, siapa saja penguasa Jawa yang menikahi puteri China, dia akan mengalami kekalahan dalam segala hal.

Di saat itulah Agama Islam masuk ke tanah Jawa lewat daerah pesisir utara Pulau Jawa. Karena tidak ingin masuk Islam, ketiga saudara seperguruan Ki Tunggul Wulung yaitu Ki Brayut, Ki Buwono Keling dan Ki Tiyoso melarikan diri ke daerah selatan sesuai dengan petunjuk gurunya, “Berjalanlah selama 40 hari dan setelah mencapai tempat yang tinggi lihatlah kearah bawah bila kalian melihat tempat yang datar, tempat itulah yang dinamakan “Alas Wengker Kidul”. Sesampainya di Wengker Kidul perjalanan mereka dibagi menjadi tiga yaitu, Ki Buwono Keling lewat sebelah utara, Ki Tiyoso lewat pesisir selatan dan Ki Brayut lewat tengah hutan.

Majapahit benar-benar mengalami huru-hara besar dan Ki Tunggul Wulung tidak bisa memadamkan huru-hara tersebut. Ki tunggul Wulung memutuskan untuk mencari ketiga saudara seperguruannya dengan meminta petunjuk dari Sang Guru namun Sang Guru dalam keadaan kritis.

Setelah peristiwa tersebut Ki Tunggul Wulung mencari ketiga saudaranya dan sampailah di tempat yang dinamakan Astono Genthong, dari situ ia melihat gunung yang berjajar empat (Gunung Limo, tetapi tidak terlihat sebagai lima gunung bila dilihat dari Astono Genthong).

Dikisahkan bahwa akhirnya Ki Tunggul Wulung membuka lahan atau babad alas disekitar lereng gunung Limo. Salah satu dari gugusan gunung yang berjumlah lima merupakan tempat untuk bertapa atau bersemedi.

 

Berakhirnya Masa Ki Ageng Buwana Keling dan Masuknya Islam di Pacitan

Kegoncangan masyarakat Wengker Kidul dibawah pemerintahan Ki Ageng Buwana Keling di Pesisir selatan terjadi setelah datangnya Muballigh Islam dari kerajaan Demak Bintara, yang di pimpin oleh Ki Ageng Petung (R. Jaka Deleg /Ki Geseng), KI Ageng Posong (R. Jaka Puring Mas/Ki Ampok Boyo ) dan sahabat mereka Syekh Maulana Maghribi. Yang meminta Ki Ageng Buwana Keling beserta semua rakyat di Wengker Selatan untuk mengikuti atau memeluk ajaran Islam.

Namun setelah Ki Ageng Buwana Keling menolak dengan keras dan tetap tidak menganut agama baru yaitu agama Islam, maka tanpa dapat dikendalikan lagi terjadilah peperangan antara kedua belah pihak. Peperangan antara penganut agama Hindu yang dipimpin oleh Ki Ageng Buwana Keling dengan penganut agama Islam yang dipimpin oleh Ki Ageng Petung, Ki Ageng Posong dan Syeikh Maulana Maghribi memakan waktu yang cukup lama , karena kedua belah pihak, memang terdiri dari orang-orang sakti. Namun akhirnya dengan keuletan dan kepandaian serta kesaktian para muballigh tersebut peperangan itu dapat dimenangkan Ki Ageng Petung dan pengikut-pengikutnya setelah dibantu oleh prajurit dari Adipati Ponorogo yang pada waktu itu bernama Raden Betoro Katong (Putra Brawijaya V).

Dalam legenda sering disebutkan bahwa Ki Ageng Buwana Keling ini adalah seorang yang sakti mandraguna. Beliau tidak bisa mati meski dibunuh berkali-kali berkat ajian yang beliau miliki yakni “Pancasona”. Akhirnya ditemukan juga kelemahan beliau. Ki Ageng Buwono Keling dibunuh kemudian dipotong menjadi tiga bagain kemudian jenazahnya dimakamkan di tiga lokasi yang berbeda dimana masing-masing dipisahkan oleh sungai.

 

Referensi: Internet

(Miranti Ayudya K/PCT-SMAN1Pacitan)

Tinggalkan komentar